Sabtu, 12 November 2011

Deradjat Ginandjar, Pengidap HIV/AIDS yang Berprestasi Internasional lewat Sepak Bola

 


Bertahun-tahun menjadi pengidap HIV/AIDS tak membuat Deradjat Ginandjar Koesmayadi berputus asa. Dia tetap bersemangat melakoni hidupnya. Puncaknya, dia berhasil terpilih sebagai pemain terbaik di ajang Homeless World Cup 2011di Paris, Prancis.


PENAMPILAN Ginan (panggilan akrab Ginandjar) sekilas tak meyakinkan bahwa dia seorang atlet. Tingginya “hanya” 160 sentimeter, model rambut ala mohawk, dan badannya dipenuhi tato.
Namun, Ginan berhasil membuktikan bahwa dia mampu membawa harum nama bangsa di kancah internasional. Di ajang Homeless World Cup 2011 yang dihelat di Paris, Prancis, Agustus lalu, Ginan meraih predikat sebagai pemain terbaik.



Homeless World Cup 2011 adalah ajang sepak bola jalanan yang diikuti komunitas tunawisma. Pesertanya anggota komunitas yang kurang beruntung, seperti pecandu narkoba, penderita HIV/AIDS, dan lain-lain.
“Penghargaan ini adalah anugerah terbesar dalam seumur hidup saya,” kata Ginan ketika ditemui Jawa Pos di Bandung Senin lalu (26/9).

Dia tidak pernah menyangka bakal meraih prestasi dari lapangan sepak bola setelah bertanding melawan negara-negara yang selama ini dikenal lebih kuat dari Indonesia.

“Saya merasa tidak percaya dengan apa yang saya dapatkan ini. Mengalahkan Italia, Irlandia, dan yang terhebat kami pernah mengalahkan juara dunia homeless, Skotlandia,” katanya. Di perhelatan Homeless World Cup 2011 itu, Indonesia menjadi satu-satunya wakil Asia yang melangkah ke perempat final. Indonesia mengalahkan Italia, Denmark, Belanda, dan Nigeria.

Ginan sampai sekarang kadang masih merasa tidak percaya bahwa dirinya adalah peraih gelar pemain terbaik. Bukan hanya itu. Pria 31 tahun tersebut juga merasakan coaching clinic di Inggris yang dijalaninya seperti sebuah mimpi.

“Merasakan rumput stadion bagus di markas peserta di liga Inggris, bermain di sana, dan mewakili negara, itu semua masih seperti mimpi,” ceritanya.

Lajang asli Bandung itu memaparkan, gelar yang dia dapatkan tersebut bukan hanya karena permainan di atas lapangan. Dengan hanya mencetak empat gol, itu tentu sulit. Namun, kriteria lain yang membuatnya menjadi pemain terbaik adalah dirinya dianggap leader yang bermain secara fair play .

Artinya, dia dianggap bisa membangkitkan semangat rekan-rekan di lapangan, memotivasi, dan membuat perubahan yang signifikan. Alhasil, timnya bisa membalikkan keadaan setelah tertinggal cukup jauh.

Contohnya saal melawan Irlandia. Saat itu Indonesia tertinggal. Tapi, berkat semangat pantang menyerah dan mau berusaha bersama-sama dengan anggota tim, keputusasaan hilang. Indonesia akhirnya berhasil membalikkan keadaan dan menang dengan skor 7-6. Demikian juga saat melawan Skotlandia. Dari awalnya tertinggal, skor bisa disamakan menjadi 8-8 dan akhirnya Indonesia menang lewat adu penalti.

Ginan lantas mengisahkan penggalan hidupnya. Dia mulai tertarik pada sepak bola ketika bertekad ingin membuat perubahan dalam hidupnya. Saat itu pada 2003, tiga tahun setelah dia divonis mengidap virus HIV, bersama empat temannya, Ginan mendirikan Rumah Cemara. Ini adalah sebuah komunitas yang menjadi tempat berkumpul orang yang pernah hidup dengan narkoba. Juga mereka yang akhirnya terkena HIV/AIDS.
“Kami awalnya hanya menjadi rumah berkumpul dan berbagi pengalaman bagi mereka yang pernah hidup dengan narkoba dan sampai ada yang terkena HIV. Tujuannya, agar bisa menjalani hal yang positif,” beber lulusan ilmu pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut.

Ginan menjelaskan, sepak bola memang menjadi salah satu jalan yang membuat dirinya bisa kembali bahagia menjalani hidup meski telah positif mengidap HIV. Dia bisa menyalurkan kreativitasnya di tengah keterbatasan kondisi tubuh yang digerogoti virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu.
Dia ingat betul bagaimana tubuhnya pernah berada dalam kondisi terlemah semenjak mengidap HIV. Saat itu, lanjut Ginan, kekebalan tubuhnya hanya berada dalam angka 138. Jauh dari angka kekebalan tubuh (CD 4) manusia normal yang berada di angka 450.

“Saya saat itu merasa hidup saya sudah tidak akan lama lagi. Tapi, setelah mendapatkan perawatan dan meminum obat, kondisi saya bisa membaik,” tutur anak kedua di antara enam bersaudara itu.
Namun, Ginan menegaskan, ada hal lain yang saat itu membuat dirinya merasa jauh lebih baik selain meminum obat. Yakni, bisa bermain sepak bola. Dia memilih bermain sepak bola. Dia bisa merasakan kesenangan dengan mamainkan kulit bundar bersama rekan-rekan yang lain.

Sebab, terang Ginan, HIV tidak akan bisa berkembang di dalam tubuh dengan cepat jika kondisi mental si penderita bagus. Virus tersebut akan lebih mudah berkembang dan melemahkan tubuh jika seorang penderita berada dalam kondisi stres.

“Karena itu, lingkungan cukup penting bagi para pengidap HIV. Semakin mereka bisa senang, maka mereka bisa semakin bertahan. Tapi, tetap juga diimbangi dengan minum obat. Jadi, berimbang. Langkah medis dijalani, langkah nonmedis untuk melahirkan kesenangan batin juga dilakukan,” beber lelaki kelahiran 13 Juli 1980 itu.

Alhasil, dengan apa yang dijalaninya tersebut, kekebalan tubuh atau (CD4) Ginan bisa terus meningkat dan bahkan mendekati ukuran orang normal. Saat ini kekebalannya berada pada angka 428.
“Jangan berputus asa. Tetap bersemangat dan yakin masih bisa melahirkan hal yang positif bagi masyarakat. Itu menjadi kunci saya masih bisa seperti sekarang ini. Jangan pernah bersedih dan selalu bahagiakan hati,” tuturnya.

Dengan berbagai program berkaitan dengan HIV/AIDS yang dijalankan, Rumah Cemara berhasil mendapat bantuan dana dari para pendonor dalam maupun luar negeri. Mereka juga mendirikan pusat rehabilitasi para pecandu narkoba.

Dengan menjadi semakin besar, Rumah Cemara membutuhkan staf pekerja. Sebagian staf direkrut dari mereka yang pernah menghuni rehabilitasi Rumah Cemara.
“Mereka yang menjadi staf Rumah Cemara ini 80 persen adalah pengidap HIV dan beberapa lagi adalah mereka yang pernah kecanduan,” beber Ginan.

Dari prestasi sepak bolanya, Rumah Cemara juga baru saja mendapat hibah dana dari Australia untuk menggelar league of change. Sebuah kompetisi sepak bola bagi mereka yang hidup seperti Ginan agar bisa kembali bersemangat dan menemukan gairah untuk bertahan hidup, merasa bermanfaat bagi masyarakat.

Karena itu, Ginan berharap agar orang yang mengalamai nasib buruk seperti dirinya tidak lantas mudah larut dan mudah putus asa. Dia berharap, mereka mau berjuang dan menemukan jalan untuk bisa bermanfaat.
Di sisi lain, Ginan juga ingin masyarakat yang normal membuka hatinya bagi para ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sehingga lingkungannya menjadi menyenangkan. Memberikan ketenangan batin sehingga menjalani kehidupan layaknya orang normal.

“Jangan dikucilkan. Rangkul mereka yang ODHA karena saya yakin ada potensi di balik kekurangannya. Ada kesempatan bagi mereka untuk berprestasi seperti yang telah diraih anggota Rumah Cemara,” tutur Ginan. (c2/c4/kum)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar